Agung
Waspodo, MPP
National Leadership Camp 2012 Jakarta
Daerah yang terletak di antara dua benua, menjadi perebutan pada masa
lalu. Banyak usaha untuk menaklukkan daerah itu semenjak zaman Nabi Muhammad
saw. Tepatnya terletak di ujung pertemuan dua benua, Asia dan Eropa. Itulah Konstantinopel
yang menjadi jalur perdagangan yang strategis kala itu. Ada yang mengatakan, siapa yang menguasainya,
maka ia akan bisa menguasai Timur dan Barat. Akan tetapi, saat itu daerah tersebut masih menjadi daerah
kekuasaan bangsa romawi Byzantium.
Umat Muslim telah berulang kali berusaha untuk menaklukkan
Konstantinopel. Namun setiap usaha selalu menuai kegagalan. Hal itu banyak
factor yang mengiringinya. Baik itu dikarenakan kurang memadainya persenjataan
dan bala tentara yang kurang terampil. Sehingga tercatat pada masa kekhilafahan
Bani Umayyah telah dua kali melakukan ekspedisi ke Konstantinopel, namun dua-duanya
menemui kegagalan. Ekspedisi pertama, pasukan umat Islam gagal dalam
pengepungan. Sedangkan ekspedisi kedua, yang diikuti oleh sahabat Nabi, Abu
Ayyub al-Anshari berhasil mengepung daerah tersebut. Akan tetapi menuai
kekalahan kembali yang diakibatkan oleh ketidak sebandingnya kebutuhan logistik,
politik, dan teknologi.
Pada saat itulah, muncul seorang pemuda yang telah diberikan kepercayaan
oleh ayahnya Sultan Murad I, yang juga seorang raja pada saat itu, untuk
memimpin suatu golongan umat sebagai walikota. Lebih tepatnya dia adalah Sultan
Mehmet. Beliaulah yang disebutkan Nabi Muhammad sebagai sebaik-baiknya pemimpin
yang juga penakluk Konstantinopel. Setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel
pada tahun 1453 Masehi, Sultan Mehmet mendapatkan gelar Al-Fatih yang berarti
Pembuka. Sebelum merebut Konstantinopel, pada usia 19 tahun, ketika ayahnya
meninggal, ia diangkat menjadi sultan bergelar Murad II.
Banyak orang yang meragukan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin.
Namun, di sampingnya ada dua orang yang menjadi motivator yang senantiasa
memberikannya spirit lebih untuk menjalani amanah dari ayahnya tersebut. Salah
satunya bernama Syaikh Syamsuddin. Syaikh Syamsuddin jugalah yang meyakinkannya
bahwa ia adalah orang yang disebutkan hadits Nabi sebagai sebaik-baik pemimpin yang menjadi
panglima bagi sebaik-baik pasukan.
Persiapan untuk menaklukkan Konstantinopel sudah dimulai Al-Fatih sejak
naik tahta. Dengan kata lain, 2 tahun sebelum hari-H penyerangan segala
sesuatunya telah dipersiapkan. Mulai dari logistik perang, teknologi
persenjataan, dan yang paling penting spiritual pasukan. Saking rapi dan
matangnya persiapan, setiap satu instruksi itu sudah dipersiapkan sejak 3
minggu. Di jalan-jalan menuju Konstantinopel sudah disediakan logistik untuk
pasukan, pemahaman terhadap medan juga sudah dikuasai.
Untuk menaklukkan Konstantinopel bukan perkara mudah. Pasalnya
Konstantinopel, yang dikuasai oleh kekaisaran Byzantium, dikelingi oleh
benteng-benteng tinggi di segala penjuru. Hanya sebagian kecil wilayah yang
pertahanannya lemah. Bahkan wilayah laut untuk masuk ke wilayah Konstantinopel
dipasangi rantai besar. Namun pertahanan yang kuat itu tak kuasa membendung
laju pasukan Al-Fatih.
Sebelum ke hari-H pengepungan, ada sebuah fakta menarik dari Kekaisaran
Turki Utsmani, yakni menempatkan ibukota negara di wilayah perbatasan dengan
daerah musuh. Ada pelajaran dibalik kebiasaan itu, yaitu setiap kali sang Sultan
bangun yang dia lihat pertama kali adalah negeri musuh yang ingin ia taklukkan.
Hal ini memberi visi bagi sang Sultan untuk senantiasa mempersiapkan diri
melakukan pembebasan negeri-negeri musuh.
Saat penyerangan, ternyata Al-Fatih memiliki rencana brilian. Ia
mengetahui bahwa jalur laut menuju Konstantinopel dihalangi oleh rantai besar.
Untuk itu ia dan pasukannya mengangkat kapal melewati gunung sebelum akhirnya
tiba di Golden Horn, sebelah Timur
Konstantinopel. Selain pasukan yang menggunakan kapal, ada juga pasukan yang
datang dari sebelah Barat yang sebagiannya merupakan “sekutu” Al-Fatih dari
wilayah Eropa Timur. Pasukan ini harus menghadapi benteng tiga lapis.
Menghadapi pertahanan yang begitu kuat, pasukan Al-Fatih memiliki bekal sebuah
meriam besar. Tembakan meriam itu mampu meruntuhkan benteng tersebut satu
persatu.
Setelah memenangkan pertarungan, ada sesuatu yang menarik: Al-Fatih
melarang pasukannya untuk masuk ke dalam kota. Jika pasukan masuk ke dalam
kota, dikhawatirkan nafsu untuk menjarah dan melakukan pengrusakan muncul.
Al-Fatih pun setelah itu hanya memerintahkan untuk membersihkan Hagia Sophia
untuk dijadikan tempat shalat. Hagia Sophia pun berubah menjadi Aya Sophia,
meskipun saat Turki Sekuler dicanangkan Kemal Attaturk, namanya dikembalikan
menjadi Haghia Sophia.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan tinggalkan komentar untuk respon/pertanyaan. Klik link "Subscribe by email" untuk mengetahui balasan komentar/pertanyaan. NO SPAM, No Links, No SARA, No P*RNO! Komentar berisi LINK & tidak sesuai ketentuan akan langsung dihapus. Jangan lupa diisikan nama usernya sebagai identitas untuk berkomunikasi di blog ini.