Halo sahabat mujahid ilmu…
Begitu senang rasanya kembali melankolis untuk
sedikit berbagi. Entah hawa apa yang telah mendorong keinginanku untuk
menuliskan ini. Yang jelas, ledakan ini sebanding dengan kerinduanku pada kedua
orangtuaku nan jauh di sana -Semoga Allah melindungi dan menjagamu mamah dan
bapak- Aamiin.
Mungkin ini tulisan yang sangat melankolis
buatku. Hanya malam yang tahu betapa rindunya diri ini untuk memeluk mereka
erat, meluapkan kerinduan yang selalu menyesakan dada. Wah, gara-gara pohon apel
nih yang uda buat saya nulis begini. Tapi tidak apa-apa, memang itu yang
membuatku semakin rindu tak tertahankan kepada kedua orangtuaku. Di malam
inilah, Sabtu, 16 Februari 2013 pukul 23.23 aku luruskan badanku menyandarkan
tulang belakangku untuk melamun. Tak sadar, akhirnya aku pun terbawa ke dalam
kisah pohon apel dan anak lelaki.
Kisah itu berawal dari seorang anak laki-laki
yang memiliki perawakan kecil, kurus, hitam, berambut ikal dan pendek –sangat
mirip dengan penulis sewaktu kecil-. Betapa kesehariannya ia habiskan untuk
bermain dan bermain. Ia tidak sendiri, ia selalu ditemani oleh pohon apel yang
setia menemaninya setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon,
memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki
itu sangat mencintai pohon apel itu dan begitu pula dengan pohon apel yang
sangat mencintai anak kecil itu.
Waktu terus berlalu….
Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan
tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Ia merasa bosan
untuk terus bermain bersama pohon apel itu. Suatu hari ia mendatangi pohon apel.
Wajahnya tampak sedih.
“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta
pohon apel itu.
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan
pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak
punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak
punya uang. Tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau
bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”
Anak lelaki itu senang. Ia lalu memetik semua
buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Suatu hari anak
lelaki itu datang lagi.Pohon apel sangat senang melihatnya datang.
“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel
itu.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami
membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau
boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel
itu.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan
dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu pun merasa
gembira melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali
lagi. Pohon apel itu pun merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang
lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
“Ayo bermain-main lagi denganku” pinta pohon
apel.
“Aku sedih” kata anak lelaki itu. “Aku sudah
tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukan kau
memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh
memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau.
Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon
apel itu dan membuat kapal yang didambanya. Ia lalu pergi berlayar dan tak
pernah lagi datang menemui pohon apel itu. Akhirnya anak lelaki itu datang lagi
setelah bertahun-tahun kemudian.
“Maaf nak,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak
memiliki buah apel lagi untukmu,”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk
memakan buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang
bisa kau panjat,” kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,”
jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang
bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan
sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,”
kata anak lelaki. “Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat
lelah setelah sekian lama meninggalkanmu,”
“Oh bagus sekali, tahukah kau bahwa akar-akar
pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah
berbaring dipelukan akar-akarku dan berisitirahatlah dengan tenang,”
Anak lelaki itu berbaring dipelukan akar-akar
pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air
matanya. –selesai kisahnya-
Begitulah kisah yang saya baca dari sepenggal
dongeng entah darimana asalnya. Yang jelas, ini adalah cerita tentang kita
semua. Pohon apel itu diibaratkan orangtua kita. Ketika kita masih muda, kita
senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika tumbuh besar, kita
meninggalkan mereka dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam
kesulitan. Tak peduli apapun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk
memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda
mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon
itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.
Sadarkah kita dengan semua itu…
Jawabannya ada pada diri masing-masing. Masih
belum terlambat untuk memperlakukan kedua orangtua kita jauh lebih baik. Ich Liebe Dich Mamah dan Bapak.
*Semoga tulisan ini mampu mengingatkan kita
untuk terus berbuat baik kepada kedua orangtua kita yang selalu memberikan
pengorbanannya bagi kita. Tak pernah kita tahu seberapa besarnya kasih dan
sayang mereka yang telah dicurahkan kepada kita. Mungkin jika Allah membukakan
gudang kasih dan sayang mereka, akan membuat kita selalu tak ingin jauh dari
mereka.
“Ya Allah ya Tuhan kami, ampunilah dosa kami
dan dosa-dosa kedua orangtua kami. Sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka
menyayangi kami sewaktu kecil"
don't forget, you're already growing up when your parents getting old
BalasHapus